Dinamika Politik Dalam Liga Voli Nasional. Liga voli nasional Indonesia, khususnya Proliga 2025, tak hanya soal spike dan blok di lapangan, tapi juga penuh dinamika politik di belakang layar. Musim ini jadi sorotan karena jumlah peserta putra turun drastis jadi hanya lima tim setelah tim BIN mundur mendadak, ditambah kritik pedas dari tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono soal gaji pemain asing yang melonjak tinggi. Di tengah euforia voli yang lagi naik daun, isu-isu ini bikin PBVSI harus kerja ekstra untuk jaga kredibilitas kompetisi tertinggi tanah air. BERITA BOLA
Mundurnya Tim BIN dan Dampaknya: Dinamika Politik Dalam Liga Voli Nasional
Awal kontroversi muncul saat Jakarta STIN BIN (putra) dan Jakarta BIN (putri) – juara bertahan putri – tiba-tiba absen tanpa alasan jelas. Ketua Umum PBVSI Imam Sudjarwo bilang tak tahu pasti penyebabnya, hanya menduga ada kebijakan baru dari pimpinan BIN yang berganti. Akibatnya, sektor putra hanya diikuti lima tim: Jakarta LavAni, Jakarta Bhayangkara Presisi, Palembang Bank Sumsel Babel, Surabaya Samator, plus tim bentukan PBVSI Jakarta Garuda Jaya. Minimnya peserta ini langsung dikritik karena bikin kompetisi kurang greget dan rawan tuduhan pengaturan skor.
Kritik Salary Cap dan Kesenjangan Gaji: Dinamika Politik Dalam Liga Voli Nasional
Susilo Bambang Yudhoyono, pemilik Jakarta LavAni, secara terbuka soroti mahalnya gaji pemain asing yang naik tajam, jauh di atas kemampuan klub lokal. Ia usul PBVSI terapkan salary cap agar tak ada kesenjangan besar dengan gaji pemain Indonesia. Menpora Dito Ariotedjo juga dorong tambah jumlah tim agar lebih kompetitif, karena anggaran klub terbatas sementara biaya operasional terus membengkak. Isu ini sentuh politik pembinaan, di mana klub-klub besar milik institusi negara atau BUMN punya keunggulan finansial dibanding klub swasta murni.
Isu Pengaturan Skor di Final Four
Puncak panas terjadi di babak final four, di mana muncul tuduhan “main sabun” atau sengaja kalah agar lawan tertentu lolos grand final. Beberapa pertandingan dianggap aneh, bikin volimania geram, bahkan sebut grand final memalukan. PBVSI langsung ditekan untuk ubah format final four musim depan, mungkin kembali ke sistem home-away atau tambah pertandingan agar minim kecurigaan. Meski tak ada bukti kuat, isu ini rusak citra liga yang lagi digandrungi jutaan penonton.
Kesimpulan
Dinamika politik di liga voli nasional 2025 tunjukkan bahwa popularitas tinggi tak otomatis bikin semuanya mulus. Mundurnya tim besar, kritik salary cap, hingga tuduhan pengaturan skor jadi pelajaran berharga buat PBVSI. Jika tak segera dibenahi lewat aturan lebih ketat dan transparansi, kepercayaan publik bisa luntur meski lapangan selalu ramai. Yang pasti, voli Indonesia butuh politik lapangan yang sehat agar prestasi timnas dan klub terus naik, bukan malah terjebak drama di luar net.