Kegigihan Setter Muda Mengubah Kritik Jadi Kekuatan. Di tengah gemuruh sorak penonton di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) 2025, sebuah nama muda mencuri perhatian: Kintan Dear Love Islamy. Setter berusia 17 tahun asal Sumenep, Jawa Timur, ini baru saja mengukir medali perak untuk tim voli putri Jawa Timur. Prestasi itu bukan datang begitu saja. Di balik servis akurat dan umpan presisi yang jadi andalannya, tersimpan cerita kegigihan seorang remaja yang mengubah hujan kritik menjadi bahan bakar semangat. Saat banyak yang meragukan potensinya karena berasal dari daerah terpencil, Kintan justru membuktikan bahwa tekanan bisa jadi pemicu lompatan besar. Kisahnya menginspirasi, terutama di ajang voli junior yang kian kompetitif belakangan ini. INFO SLOT
Latar Belakang: Dari Pantai Sumenep ke Panggung Nasional: Kegigihan Setter Muda Mengubah Kritik Jadi Kekuatan
Kintan lahir dan besar di Sumenep, sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura yang dikenal dengan pantai indahnya, tapi minim fasilitas olahraga elit. Sejak kecil, ia jatuh cinta pada voli setelah menyaksikan pertandingan lokal di sekolah dasar. “Voli bukan hanya permainan, tapi cara saya melawan keterbatasan,” ujarnya dalam wawancara singkat pasca-partai final POPNAS. Pada usia 12 tahun, Kintan bergabung dengan klub voli setempat, berlatih di lapangan terbuka dengan bola pinjaman. Latihan pagi buta di bawah terik matahari Madura membentuk karakternya yang tangguh.
Pindah ke Gresik untuk bergabung dengan klub voli elite Jawa Timur menjadi titik balik. Di sana, Kintan belajar membaca permainan lawan dan mengatur ritme tim sebagai setter. Posisi ini menuntut kecerdasan taktis—bukan hanya kekuatan fisik, tapi juga insting untuk memberi umpan sempurna ke rekan setim. Pada 2024, ia debut di kompetisi provinsi dan langsung jadi bintang muda. Namun, perjalanan nasional tak mudah. Di POPNAS 2025 yang digelar November ini, Kintan dipilih sebagai starter utama tim Jawa Timur. Mereka melaju ke final setelah mengalahkan tuan rumah dengan skor telak 3-0 di semifinal, di mana umpan Kintan menyumbang 15 poin krusial. Medali perak itu, meski pahit karena kalah 2-3 dari Jawa Barat, tetap jadi pencapaian gemilang bagi gadis yang dulu sering diremehkan.
Menghadapi Badai Kritik: Tekanan dari Luar dan Dalam: Kegigihan Setter Muda Mengubah Kritik Jadi Kekuatan
Tak ada prestasi tanpa rintangan, dan Kintan punya banyak cerita soal itu. Saat pertama kali dipanggil ke pemusatan latihan nasional U-18 awal 2025, kritik datang bertubi-tubi. Banyak yang mempertanyakan kemampuannya: “Setter dari Madura? Terlalu mentah untuk level nasional.” Media sosial memperburuknya; komentar negatif banjiri akunnya setelah video latihan bocor, menyoroti kesalahan umpan pertamanya. Bahkan di klub, ada senior yang meragukan ketahanannya fisik karena posturnya yang mungil—hanya 165 cm.
Kritik itu memuncak saat tim U-18 Indonesia tampil di turnamen regional Agustus lalu, di mana Kintan jadi kambing hitam atas kekalahan tipis dari Vietnam. “Umpanmu lambat, Kintan! Itu yang bikin kita kalah,” tulis seorang netizen viral. Tekanan itu bukan hanya dari luar. Di rumah, orang tuanya khawatir ia terlalu keras pada diri sendiri, sering menangis setelah latihan. Tapi justru di titik terendah itulah Kintan belajar. Ia mulai catat setiap kesalahan di buku harian, menganalisis video pertandingan hingga larut malam. “Kritik itu seperti angin kencang; kalau rapuh, roboh. Tapi kalau kuat akarnya, malah tumbuh lebih tinggi,” katanya, menggambarkan filosofi sederhana yang ia pegang.
Transformasi: Mengubah Kata-Kata Pedas Jadi Senjata Rahasia
Kegigihan Kintan terlihat jelas saat POPNAS 2025. Alih-alih ambruk, ia gunakan kritik sebagai motivasi. Latihan tambahan dua jam sehari fokus pada kecepatan umpan dan blok belakang, hasilnya terbukti di lapangan. Di perempat final, umpan silangnya ke outside hitter tim lawan jadi senjata mematikan, menyumbang 70% poin serangan Jawa Timur. Pelatih tim, yang awalnya ragu, kini puji Kintan sebagai “otak lapangan” yang tenang di bawah tekanan.
Lebih dari itu, transformasinya inspiratif bagi rekan setim. Saat tim tertinggal 0-2 di final, Kintan ambil inisiatif: ia panggil huddle singkat, ingatkan mereka pada kritik yang pernah mereka terima bersama. “Kita bukan korban, kita pembalas dendam dengan poin!” serunya. Hasilnya, Jawa Timur balik unggul 2-1 sebelum akhirnya kalah di set kelima. Medali perak itu bukan akhir, tapi awal. Kini, Kintan sudah dapat undangan pelatnas untuk SEA Games junior 2026. Ia rencanakan program mental training, bekerja sama dengan psikolog olahraga, untuk pastikan kritik tak lagi jadi beban. “Sekarang, setiap komentar negatif saya baca sebagai tantangan. Itu bikin saya lebih tajam,” tambahnya sambil tersenyum.
Kesimpulan
Kisah Kintan Dear Love Islamy adalah pengingat bahwa di dunia olahraga, terutama voli yang penuh dinamika tim, kegigihan adalah kunci utama. Dari setter muda yang diremehkan hingga pahlawan perak POPNAS 2025, ia tunjukkan bagaimana kritik bisa diubah jadi kekuatan. Bukan dengan balas dendam, tapi dengan kerja keras dan mindset positif. Bagi generasi muda Indonesia, Kintan jadi teladan: jangan takut gagal, karena justru dari sana lahir versi terbaik diri. Dengan semangat seperti ini, voli tanah air punya masa depan cerah. Siapa tahu, besok Kintan sudah angkat emas di panggung lebih besar. Yang pasti, perjalanannya baru dimulai.